Jul 6, 2009

Perlukah Sistim Inteligen Timor Leste Direvisi?

MAHEIN NIA LIAN No.2, 6 Julho 2009.

Perlukah Sistim Inteligen Timor Leste Direvisi ?

(Tinjauan Atas UU Inteligen dan Perspektif ke Masa Depan)

Oleh: Justiano R. de Jesus*

Pada 13 Desember 2007 lalu, Dewan Menteri Pemerintah Kontitusinal IV, dibawah Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmao, telah mengesahkan Undang-undang (UU) mengenai Sistim Intelligen Timor Leste. UU ini sangat penting karena menggariskan sistim politik, koordinasi, dan pelaksanaan organisasi-organisasi inteligen di negeri ini. Secara prinsipil, UU ini telah memiliki satu konsep keseluruhan mengenai mekanisme dan sistim kerja organisasi inteligen. Walaupun demikian, tak terpungkiri bahwa UU ini “terlalu disederhanakan” untuk sebuah institusi sepenting inteligen. Terlepas dari upaya keras yang telah dilakukan pemerintah, UU tersebut masih menyimpang beberapa titik lemah yang memiliki implikasi negatif atas managemen inteligen di masa mendatang.

Kelemahan UU tersebut tidak terletak pada materi hukumnya, melainkan pada deskripsi sistim inteligen yang ada didalamnya. Bila ditilik secara teliti, UU ini menyisihkan adanya kehilangan interkoneksi, definisi, kompetensi, dan lingkup strategis selain absennya beberapa institusi penting di negara ini. Lebih jauh, “kesederhanaan” UU tersebut belum sepenuhnya merefleksian kebutuhan ril keamanan nasional (national security interest) Timor Leste. Dengan kata lain, revisi pada UU ini sangat perlu karena akan mengambil peran penting pada usaha mempertahankan kedaulatan negara, memperkokoh amanat konstitusi, menjamin kemerdekaan, melindungi warga negara dan kekayaan bangsa ini dari segala bentuk ancaman.

Tentang UU inteligen Timor Leste

Sebelum menganalisis materi UU inteligen, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu bagaimana UU tersebut dibentuk. UU inteligen ini merupakan produk yang ditinggalkan oleh pemerintahan Konstitusional I dibawah Perdana Menteri Dr. Mari Alkatiri. UU tersebut mulai digarap sebagai kebijakan Kabinet I yang menginginkan perubahan National Security Adviser (NSA) yang ditinggalkan UNTAET pada tahun 2002 dan ditransformasi menjadi Organisasi Inteligen Negara dibawah kontrol Serviço Nacional de Segurança do Estado atau SNSE pada tahun 2003. Pada awalnya, UU ini ditulis berdasarkan paduan dan kompilasi dari UU ASIO (Australian Security and Intelligent Organisation) dan SIS (Serviço Informação Secreta – Portugal). Namun dalam perkembangannya, UU ini mengalami banyak perubahan dan kesendatan akibat keterbatasan

sumber, tenaga ahli serta minimnya anggaran untuk memperlancar proyek ini. Tidak hanya itu, UU ASIO dan SIS tidak dapat direduksi mentah-mentah dalam kondisi dan kebutuhan inteligen Timor Leste yang konteks wilayahnya lebih kecil serta kompleksitas ancamannya berbeda. Meskipun demikian, proyek UU ini terus berlanjut dengan bantuan-bantuan terbatas dari SIS, ASIS (Autralian Secret Intelligent Service), RD (Research Development) badan Inteligen Malaysia, Badan Intelligen Negara (BIN) Indonesia, dan beberapa ahli hukum dan advisor inteligen. Tetapi, bantuan-bantuan tersebut sangat informal, terbatas dan tertutup.

Pada tahun 2005, draft pertama selesai dan diajukan ke Dewan Menteri Kabinet I. Namun segera, UU ini tidak disahkan karena masih mengalami beberapa perdebatan teknis. Bahkan dalam takaran politiknya, Perdana Menteri Dr. Mari Alkatiri (Kabinet I) menilai bahwa terlalu banyak “campur tangan” negara tertentu dalam bisnis inteligen Timor Leste. Persepsi ini memberi indikasi bahwa sistim inteligen kita “tidak aman” dan membahayakan sistim keamanan nasional Timor Leste ke depan. Karenanya, UU ini ditarik ulur dan dibekukan di meja dewan menteri hingga terjadinya krisis 2006.

Pasca krisis, UU ini kembali mendapat perhatian dari Perdana Menteri DR. José Manuel Ramos Horta yang memegang Pemerintahan Konstitusional II pada waktu itu. Secara inplisit, Horta menginginkan agar organisasi SNSE dapat ditempatkan dibawah pengawasan langsung Presiden Republik RDTL. Namun ide ini tidak berlanjut. Akan tetapi, Ramos Horta tetap mendukung dan memperlancar pembahasan materi UU ini di Dewan Menteri. Walaupun kabinet Horta tidak mengesahkannya, namun draft UU ini telah diselesaikan selama masa jabatannya.

UU ini kemudian menjadi salah satu prioritas Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmão yang memegang Pemerintahan Konstitusional IV. Pembahasannya dipercepat dan mendapat pengesahan pada 13 Desember 2007. Nama inteligen negara yang sedianya bernama Serviço Nacional de Segurança do Estado (SNSE) dirubah menjadi Serviço Nacional da Inteligência (SNI) dalam UU tersebut. Namun kabinet Xanana tidak serta-merta mengeksekusi pelaksanaan UU tersebut. Dalam beberapa aspek, Xanana menilai kompetensi dan eksistensi organisasi inteligen (SNI, PNTL dan F-FDTL) masih jauh dari kapasitas yang diharapkan. Bahkan SNI yang menjadi “mata dan telingga” Perdana Menteri dinilai minim kemampuan, pengalaman dan sumber daya untuk menjalankan fungsi inteligen secara profesional. Namun secara struktural maupun organisasional, organ SNI tetap berfungsi termasuk inteligen PNTL dan F-FDTL.

Apa yang Perlu Direvisi ?

Pada prinsipnya, UU ini sudah memiliki beberapa dasar pegangan yang sangat baik. Salah satu diantaranya adalah penetapan Dewan Pengawas Inteligen di Parlemen (§ Art. 7,1-2). Hal ini menjadi satu penjamin bagi keberlangsungan negara demokratis dan menghindarkan organisasi inteligen dari tindakan-tindakan yang melawan konstitusi dan hukum. Lebih penting lagi, UU ini mengantisipasi “penyelewengan” kekuasaan yang mungkin dapat dilakukan oleh seorang Perdana Menteri atau pejabat negara dalam memperalat organisasi inteligen untuk tujuan politiknya. Lebih jauh, UU ini juga telah menetapkan sebuah sistim dan kerangka kerja inteligen seperti Koordinasi Inteligen Inter-kementrian, Komisi Teknik, SNI dan Dewan Pengawas Inteligen di Parlemen (§ Art. 6,1). Meski demikian, beberapa pokok dalam hukum inteligen masih “kehilangan” beberapa subtansi penting. Ada empat pokok persoalan yang dapat kita amati dalam konteks UU tersebut.

Pertama, konsep subtansial seperti definisi keamanan nasional inteligen, pola dan kebijakan strategis inteligen (analysis of global, regional and national nature), lingkup operasi-operasi inteligen, wewenang dan batasan Perdana Menteri serta koordinasi dengan beberapa organ penting pemerintah tidak dipertegas dalam UU itu. Sebaliknya, hal-hal tersebut hanya tersirat dalam kalimat pembukaan (§ preamblu). Patut digariswabahi bahwa unsur-unsur ini sangat prinsipil, maka tidak cukup hanya menuangkan garis-garis kebijakan sedemikian penting dalam pengantar UU. Justru, penegasan bagian-bagian tersebut pada bab tertentu akan meneguhkan kebijakan keamanan nasional dan mempertegas visi strategis inteligen Timor Leste secara menyeluruh. Bila bagian-bagian tersebut tidak ditekankan justru akan memberikan implikasi negatif atas interpretasi operasi inteligen di masa mendatang.

Kedua, dalam urusan Inteligen Luar Negeri tidak diperjelas kompetensi dan koordinasi SNI dan MNEC. Sebaliknya, UU tersebut secara inplisit melegalisasi SNI sebagai organ resmi dalam operasi intelligen luar negeri (§ Art 13,1) tanpa menyebut interkoneksi dengan MNEC sebagai pemegang strategi kebijakan luar negeri. Mungkin saja MNEC dikategorikan dalam koordinasi Inter-ministerial (§ Art 6,1-d). Namun mengingat fungsi dan peran MNEC yang sangat penting, maka sangat perlu untuk menegaskan secara jelas status MNEC dalam Komisi Teknik Inteligen selain instansi Imigrasi dan Bea Cukai (§ Art 12,3 a-b).

Ketiga, UU tersebut tidak menyebutkan peran Intelligen Pertahanan. Hal ini bisa dimaklumi karena saat ini Kementrian Pertahanan tidak memiliki direksi inteligen Pertahanan (sipil). Namun perlu diperjelas bahwa fungsi dasar inteligen F-FDTL adalah operasi dan taktik militer. Fokus dan Peran “J-2” (inteligen F-FDTL) tidak untuk konsumsi sipil, namun lebih pada operasi-operasi strategis militer (center of gravity). Data-data inteligen militer berorientasi pada bahaya-bahaya eksternal (defence threats) dan upaya-upaya pencegahannya (prevention manouvers). Sebaliknya di tingkat kebijakan strategis, dibutuhkan sebuah direksi sipil untuk

menganalisa dan memproduksi data inteligen untuk kebutuhan strategi kebijakan sipil termasuk pemetaan politik di tingkat kementrian pertahanan. Keduanya memiliki satu orientasi strategis yaitu pertahanan, namun berbeda dalam pola kebijakan (defence policies) dan skala militer (tactic, operation and manouver).

Keempat, secara garis besar, artikel pada UU tersebut telah menyebutkan beberapa bagian penting seperti sistim database (§ Art 15-16), kondisi akses (§ Art 17), dan kerahasian (§ Art 19). Namun urain-urain tersebut tidak mempertegas tiap artikel tersebut. Contohnya, bagaimana sistim database (data bank system) seharusnya diawasi. Atau siapa yang berhak mendapat akses (authorization access) terhadap data inteligen, siapa yang memberi wewenang dan siapa yang tidak berhak (restristic access). Tiap artikel pada UU tersebut harus dipertegas penjabarannya untuk menghindari dualisme interpretasi pada saat pelaksanaan operasi inteligen.

Beberapa ide pokok di atas adalah suatu topik urgen untuk didiskusikan. Saya menilai bahwa materi UU tersebut, termasuk beberapa babnya mesti diperjelas, ditambahkan dan dijabarkan lebih luas. Hal ini penting karena UU ini akan menjadi peletak dasar bagi sistim pelaksanaan inteligen di Timor Leste.

Revisi dan Perspektif ke Masa Depan

Krisis tahun 2006 dan insiden 11 Februari 2008 dapat menjadi sebuah indikator penting untuk menilai sistim inteligen kita. Faktanya, sistim inteligen saat ini masih rapuh dan belum memenuhi porsi maksimalnya. Minimnya prioritas koleksi, analisa (possible, probable dan reconnaissance), akurasi data dan koordinasi membuat fungsi “preventif inteligen” hilang bentuknya dalam kejadian-kejadian tersebut. Dalam beberapa opini, organisasi inteligen dituding dan dipersalahkan sebagai lembaga yang tidak mampu untuk mengantisipasi krisis 2006 dan imbasnya. Bahkan kasus 11 Februari 2008 semakin melegitimasi opini publik tersebut. Tapi tak terbantahkan bahwa rentetan krisis 2006 dan biasnya tidak sepenuhnya kesalahan inteligen.

Namun, kejadian-kejadian tersebut patut menjadi referensi penting untuk merevisi organ inteligen, termasuk hukum, strategi, kebijakan, managemen, kinerja, anggaran, sumber daya dan faktor manusia. Revisi atas semua elemen tersebut akan membuka ruang lebih luas untuk melihat celah dan kelemahan organisasi inteligen saat ini. Pada gilirannya, kita lebih mudah untuk menentukan bagaimana dan darimana revisi atas organ inteligen mesti dimulai.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa, revisi terhadap organ inteligen di Timor Leste harus menjadi satu agenda strategis bagi pemerintah saat ini, terlebih SNI yang menjadi badan sentral inteligen negara. Karena itu, enam konsep berikut menjadi bagian urgensitas yang mesti dipertimbangkan secara

serius dalam pengembangan organ inteligen negara termasuk didalamnya J-2 dan SIP.

Pertama, membentuk Kabinet Khusus dibawah koordinasi dan pengawasan langsung Perdana Menteri. Kabinet ini hanya bersifat ad hoc dan bertujuan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan, visi, misi, tujuan, hukum organik, strategi dan kerangka operasional inteligen Timor Leste sesuai dengan UU yang telah terbentuk. Kabinet ini dikoordinasi oleh SNI dan melibatkan SIP, J-2, Imigrasi, Custom, MNEC, bagian jurisdiksi dan organ lain yang berkompeten. Untuk membantu konsep-konsep teknis yang lebih kompleks, pemerintah dengan seleksi yang ketat, dapat menentukan beberapa pakar dan ahli inteligen untuk menjadi bagian dari kabinet ini dengan jangka waktu dan ToR yang ketat. Hasil kerja kabinet ini kemudian diajukan ke Perdana Menteri dan selanjtunya dibahas di Dewan Menteri. Konsultasi dengan Parlemen sangat dianjurkan sebelum disahkan sebagai kebijakan resmi pemerintah.

Kedua, Konsep Strategis Keamanan Nasional. SNI dapat mengadopsi UU Keamanan Nasional yang telah dikeluarkan oleh “Kabinet Forca 2020-Kementrian Pertahanan” sebagai pedoman dasar dalam menetapkan lingkup strategi dan operasi inteligen selain pijakan terhadap Konstitusi dan UU yang berkaitan. Ruang lingkup, target operasi, strategi inteligen dikembangkan dalam satu atau mono-konsep keamanan nasional. Hal ini penting agar visi dan kebijakan strategis menjadi satu bagian integral dalam semua institusi yang bertanggungjawab dalam bidang pertahanan dan keamanan, termasuk organisasi inteligen negara.

Ketiga, Hukum Organik. Organ seperti SNI, J-2 (F-FDTL), SIP (PNTL), dan Intelligent Networking Group perlu memiliki hukum organik. Hal ini penting untuk memastikan bahwa seluruh kerangka kerja dan koordinasi organ inteligen berjalan di atas suatu koridor hukum. Kebijakan-kebijakan, operasi (operation security), prosedur-prosdeur (intelligent requirement), sistim, teknologi (electronic warfare), managemen dan eksekusi kerja organ inteligen dilandaskan pada tatanan hukum yang jelas. Belajar dari pengalaman bahwa, organ sepenting SNI (SNSE), sejak didirikan pada tahun 2002 tidak memiliki satu hukum organik. Akibatnya, seluruh managemen organisasi tidak berkembang, tidak ada target (collection manager), minim rencana strategis serta tidak meyakinkan Perdana Menteri dalam kebijakan keamanan nasional.

Keempat, merestrukturisasi organisasi dan managemen inteligen. Disahkannya UU inteligen memberi satu dasar hukum kuat bagi tiap organ inteligen untuk merevisi kembali struktur, organisasi dan managemennya. Pemantapan organ inteligen perlu melihat kembali dua bagian penting. Bagian pertama terfokus pada revisi managemen organisasi yang meliputi: struktur, regulasi, SDM, sumber pendukung, pelatihan dan pendidikan, alokasi anggaran serta

koordinasi. Sedangkan bagian kedua memperjelas fungsi strategis yang meliputi: target dan prioritas, kebijakan strategis, metode teknis serta pola-pola operasi. Kedua bagian tersebut menjadi satu paket penting untuk mengembangkan insitutsi inteligen ke tingkat yang lebih profesional.

Kelima, Sumber Daya Manusia (SDM) atau Humint (human inteligent) menjadi hal esensil dalam organisasi inteligen. Intelligent tidak hanya berarti “pintar” namun konteks tersebut menunjuk pada kualitas lebih “seorang intel” dalam organ inteligen. Kemampuan mereka harus melewati tahap-tahap uji khusus (kemampuan intelektual, nasionalisme, loyalitas, pemahaman hukum, litsus, sejarah, idilogi bangsa, etc) dengan kemampaun lebih dalam bidang-bidangnya (hukum, ekonomi, IT, politik, hubungan internasional, keuangan, administrasi, etc). Hakekatnya, manusia (humint) adalah faktor utama dalam organisasi inteligen. Sudah semestinya, pelaku inteligen negara diseleksi secara ketat dan memiliki kemampaun ekstra dari kaum awam umumnya. Di lain sisi, para intel harus mendapat pendidikan yang layak (well-grommed) sesuai dengan bidangnya masing-masing. Persoalan saat ini, sejauhmana kemampuan humint dalam organ inteligen Timor Leste ?

Keenam, Dukungan Anggaran dan Sumber Daya. Seorang ahli direksi inteligen Mossad pernah berkata kepada Eli Cohen (Ketua Inteligen Mossad), “Kalau anda (Eli) menginginkan ikan hiu maka jangan berikan ekor sardin sebagai umpannya. Kami butuh umpan yang seimbang untuk menangkap ikan hiu!”. Analogi tersebut merujuk pada persoalan budget dan dukungan sumber daya. Arti metaforisnya menegaskan bahwa organisasi setingkat inteligen membutuhkan biaya yang memadai dan dukungan materi (imagery inteligent – imint, signal inteligent – sigint, dll) yang cukup untuk bekerja. Tanpa biaya dan fasilitas yang efektif maka operasi inteligen tidak lebih dari lembaga yang mandek.

Langkah-langkah tersebut di atas memiliki konsep urgensitas yang patut diperhitungkan. Revisi terhadap UU dan pembenahan pada organ inteligen merupakan dua hal penting. Peninjaun kembali UU inteligen untuk memastikan bahwa konsep dan prinsip-prinsip dasar UU tersebut telah mencakupi semua bidang strategis keamanan nasional. Sedangkan regenerasi pada organ dan struktur inteligen untuk memastikan bahwa institusi-instusi tersebut memiliki kemampuan yang diharapkan guna menjamin estabilitas keamanan nasional secara menyeluruh.

Meningkatnya tingkat ancaman keamanan nasional yang lebih kompleks pada dasawarsa ini (terorism, money laundry, human trafic, smuggling, international organize crimes, electronic warfare, dll) pada gilirannya menuntut kompetensi lebih dari tiap organ inteligen. Selain F-FDTL dan PNTL, eksistensi inteligen memberi porsi besar terhadap usaha melindugi kepentingan strategis keamanan

nasional. Keputusan-keputusan penting dalam organ Pertahanan Keamanan sangat tergantung juga pada kapasitas organ inteligen untuk memainkan perannya. Di tingkat operasional, F-FDTL dan PNTL menjadi pilar keamanan internal dan ekternal. Sedangkan di level strategis SNI dan organ inteligen lainnya menjadi pengawas dan penjamin pada tiap kebijakan keamanan nasional.

*Penulis menyelesaikan pendidikan pada Australian Defence College. Saat ini menjadi peneliti pada Fundasaun Mahien (FM) sebuah institusi nasional yang berkecimpung dalam bidang Pertahanan dan Keamanan nasional di Dili.

Click atu hetan relatorio kompletu iha .pdf

No comments:

Post a Comment